cover
Contact Name
Fuad Mustafid
Contact Email
fuad.mustafid@uin-suka.ac.id
Phone
+6281328769779
Journal Mail Official
asy.syirah@uin-suka.ac.id
Editorial Address
-
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum
ISSN : 08548722     EISSN : 24430757     DOI : 10.14421/ajish
Core Subject : Religion, Social,
2nd Floor Room 205 Faculty of Sharia and Law, State Islamic University (UIN) Sunan Kalijaga, Marsda Adisucipto St., Yogyakarta 55281
Arjuna Subject : -
Articles 5 Documents
Search results for , issue "Vol 54, No 1 (2020)" : 5 Documents clear
Positivisasi Hukum Islam dan Persinggungannya dengan Kelompok Etnonasionalis di Aceh Nyak Fadlullah
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 54, No 1 (2020)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v54i1.734

Abstract

Abstract: This paper aims to examine the discourse of positivization of Islamic Law in post-conflict settings and its relation to ethnonationalist groups in Aceh. This qualitative research uses a socio-legal-historical approach and content analysis as a dimension of analysis. The research was carried out by observation, interview and documentation. The results showed that the existence of Islamic law in Aceh did not occur monotonously, since there were many influences behind its development. The relationship between the three main areas, namely sharia, state law, and customs, greatly affects the existence of Islamic law in Aceh. The positivization of Islamic law in Aceh in the form of qanūns was born out of the articulation process between the three main domains. This articulation means having a clear connection between the three areas, with an important note that Islamic law is not born from the legislative process alone as a given, but is more of a struggle in nature which in this case is always intertwined with the local political situation vis a vis national politics. Furthermore, the involvement of ethnonationalism groups in the post-conflict discourse on the positivization of Islamic law is an implication of the transformation of the Free Aceh Movement (GAM) into the government bureaucracy in both the executive and legislative domains.  Abstrak: Tulisan ini bertujuan melihat eksistensi wacana positivisasi hukum Islam pascakonflik dan kaitannya dengan kelompok etnonasionalis di Aceh. Penelitian menggunakan pendekatan sosio-legal-historis dengan analisis isi. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa eksistensi syariat Islam di Aceh tidak terjadi secara monoton, banyak pengaruh di balik perkembangannya. Hubungan antara tiga wilayah utama, yakni syari’ah, hukum negara, dan adat-istiadat sangat mempengaruhi keberadaan dan eksistensi hukum Islam di Aceh. Positivisasi hukum Islam di Aceh dalam bentuk qanūn lahir karena proses artikulasi antara tiga domain utama tersebut. Artikulasi ini bermakna memiliki sambungan yang jelas di antara tiga wilayah tersebut, dengan catatan penting bahwa syari’at Islam tidak lahir dari proses legislasi saja sebagai sebuah given, tetapi lebih bersifat perjuangan yang dalam hal ini selalu berkait kelindan dengan situasi politik lokal yang berhadapan (vis a vis) dengan politik nasional. Sementara keterlibatan kelompok etnonasionalisme dalam wacana positivisasi hukum Islam di Aceh pascakonflik merupakan implikasi dari hasil transformasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ke dalam birokrasi pemerintahan, baik dalam domain eksekutif maupun legislatif.
Analisis Perbandingan Hubungan Zakat dan Pajak di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam Ledy Famulia
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 54, No 1 (2020)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v54i1.417

Abstract

Abstract: Muslim majority countries have set their own policies and strategies in the handling and management of zakat and taxes. Some countries may apply similar management by correlating between zakat and taxes, but several other countries may establish different models. This article examines the correlation and management models of zakat and tax in three Muslim majority countries in Southeast Asia: Indonesia, Malaysia and Brunei Darussalam. Using a normative juridical approach and comparative analysis, this study concludes that the management of zakat and taxes in Indonesia, Malaysia, and Brunei Darussalam shares many similarities, but also has some differences. In Indonesia, zakat is made deductible from taxable income, while in Malaysia the zakat policy is applied as a tax deduction. The management of zakat and taxes in Brunei Darussalam is regulated differently since the two are not considered related to each other. The different models of zakat and tax management in Indonesia, Malaysia, and Brunei Darussalam turned out to have a significant effect on zakat and tax revenue in the three countries. Abstrak: Negara-negara muslim memiliki kebijakan dan cara tersendiri dalam menangani dan mengelola hubungan antara zakat dan pajak. Beberapa negara memiliki kemiripan dalam mengelola hubungan zakat dan pajak, namun beberapa negara yang lain menggunakan model yang berbeda . Artikel ini mengkaji hubungan dan model pengelolaan zakat dan pajak di tiga negara, yakni Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan analisis perbandingan. Dari kajian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa pengelolaan zakat dan pajak di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam memiliki banyak kemiripan, namun juga terdapat beberapa perbedaan. Jika di Indonesia zakat dijadikan sebagai pengurang penghasilan kena pajak maka di Malaysia diterapkan kebijakan zakat sebagai pengurang pajak. Sedangkan di Brunei Darussalam, zakat dan pajak tidak terkait satu sama lain. Perbedaan model pengelolaan zakat dan pajak di tiga negara ini: Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam ternyata berpengaruh cukup signifikan terhadap peningkatan pemerolehan zakat dan pajak sekaligus.
Praktik Perjanjian Pinjam Nama (Nominee) di Kota Denpasar Bali Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam Hendri Saleh
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 54, No 1 (2020)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v54i1.587

Abstract

Abstract: This article examines the practice of nominee loan, which are commonplace among foreign citizens (WNA) in Denpasar, Bali. The practice of nominee loan agreement has provided countless number of foreigners with the land control in the city of Denpasar, Bali. The data in this study were collected through observation, in-depth interviews, and documentation. The data were analyzed using the agreement theory that applies in positive law and Islamic law. The study concludes that several factors have contributed to the rampant practices of nominee loan in Denpasar, Bali, namely: (a) the amount of payment/wages promised to the community members; (b) the presence of a notary who provides human resources for nominee loans; and (c) the less effective law enforcement against the parties who conduct or are involved in the nominee agreement. As seen from the perspective of Islamic law, this nominee agreement is not in line with the pillars and conditions for the formation of a contract based on Islamic contract law. In a positive legal perspective, the agreement is also determined as void due to a breach of the purpose of an agreement stated in Article 1320 of the Civil Code. In addition, nominee loan also violates the provisions of the UUPA (Basic Agrarian law) because the land is only reserved for Indonesian citizens.Abstrak: Artikel ini mengkaji praktik perjanjian pinjam nama (nominee) yang banyak dilakukan oleh Warga Negara Asing (WNA) di Kota Denpasar, Bali. Praktik perjanjian pinjam nama ini telah menjadikan banyak WNA mampu menguasai lahan yang ada di kota Denpasar Bali. Data-data dalam penelitian ini diperoleh melalui observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Analisis dilakukan dengan menggunakan teori perjanjian yang berlaku dalam hukum positif dan hukum Islam. Dari kajian yang dilakukan diperoleh simpulan bahwa ada beberapa faktor yang menjadi penyebab munculnya banyak praktik perjanjian pinjam nama di Kota Denpasar Bali, yakni: (a) besarnya bayaran/upah yang dijanjikan kepada warga masyarakat; (b) adanya oknum notaris yang menyediakan SDM untuk peminjaman nama; dan (c) lemahnya penegakan hukum terhadap para pihak yang melakukan atau terlibat dalam perjanjian pinjam nama. Ditinjau dari perspektif hukum Islam, perjanjian pinjam nama (nominee) ini tidak sesuai dengan rukun dan syarat terbentuknya akad dalam perjanjian syari’ah. Dalam perspektif hukum positif, perjanjian tersebut juga tidak sah (batal) karena adanya kausa yang tidak sesuai dengan tujuan perjanjian sebagaimana tertera dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Selain itu, ia juga melanggar ketentuan UUPA karena tanah hanya diperuntukkan bagi WNI.
Kududukan Doi Menre dalam Perkawinan Suku Bugis di Bone Sulawesi Selatan Reski Ulul Amri
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 54, No 1 (2020)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v54i1.544

Abstract

Abstract: Doi menre is the giving of a sum of money by the prospective husband to the prospective wife under the agreement between the two families for the spent of the wedding party. Doi menre frequently decisively affects whether the marriage process will proceed. This paper aims to explain how the position and impact of Doi menre in Bugis marriages, Bone Regency. This research is a field study. Data were collected through interviews, then analyzed qualitatively. Based on the research, it can be concluded that Doi menre in the traditional marriage of the Bugis Bone community has been preserved as one of the primary requirements for marriage in the Bugis Bone community. Arguably marriage will not take place without Doi menre. This is different according to Islamic law, which stipulates that Doi menre is not part of the conditions that must be met. Thus, the position of Doi menre has become the customary law of the Bugis Bone community.Abstrak: Doi menre adalah pemberian sejumlah uang oleh pihak laki-laki (calon suami) kepada calon isteri sesuai dengan kesepakatan kedua belah keluarga untuk keperluan pesta perkawinan. Doi menre sering menjadi penentu berlangsung tidaknya perkawinan. Tulisan ini bertujuan menjelaskan bagaimana kedudukan dan dampak Doi menre dalam perkawinan adat suku Bugis di Kabupaten Bone. Penelitian ini adalah penelitian lapangan. Data dikumpulkan dengan cara wawancara, kemudian dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan penelitian, dapat disimpulkan bahwa Doi menre dalam perkawinan adat masyarakat Bugis Bone telah menjadi syarat utama perkawinan sesuatu yang harus ada. Perkawinan tidak akan terlaksana tanpa Doi menre dari pihak laki-laki. Hal ini berbeda meurut Hukum Islam bahwa Doi menre tidak termasuk bagian dari syarat yang harus terpenuhi. Dengan demikian kedudukan Doi menre telah menjadi hukum adat masyarakat Bugis Bone.
Aturan Poligami dalam Perundang-Undangan di Indonesia: Studi atas Pandangan Aktivis Perempuan pada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Yogyakarta Rike Humairoh
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 54, No 1 (2020)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v54i1.665

Abstract

Artikel ini mengkaji pandangan dan respons aktivis perempuan di Yogyakarta terhadap aturan poligami dalam perundang-undangan Indonesia. Ini adalah penelitian kualitatif. Data diperoleh dari para aktivis perempuan yang aktif di lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Yogyakarta dengan menggunakan pendekatan kesetaraan gender. Penelitian ini mendapatkan temuan bahwa Pertama, para aktivis perempuan di Yogyakarta memandang poligami sebagai kekerasan yang dilegalkan oleh negara kepada perempuan. Kedua, alasan dibolehkannya poligami dalam undang-undang hanya berdasarkan pada kelemahan pihak perempuan, dengan mengabaikan kelemahan yang juga mungkin ada apa pihak laki-laki. Ketiga, terdapat unsur ketidakadilan gender dalam alasan-alasan diperbolehkannya poligami dalam aturan perundang-undangan Indonesia.

Page 1 of 1 | Total Record : 5